SYURA DALAM ISLAM


































Dalam ketatanegaraan Islam dikenal istilah ‘ahli syura’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Kerana bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sehinggakan Nabi Muhammad s.a.w pun diperintahkan untuk melakukan syura. Apatah lagi orang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di r.h. mengatakan: “Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya -padahal baginda adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling elok akhlaknya- ‘Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana orang lain yang selain beliau?” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura (الشُوْرَى) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مُشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita juga dikenali dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercayai untuk diajak bermusyawarah.

Pensyariatkannya Syura

Allah ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (Asy-Syura: 38)

Kedua ayat yang mulia itu menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan amalan Nabi S.A.W yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badar, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh Aisyah berzina, dan lain-lain. Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)

Pentingnya Syura

Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulamak, di antaranya Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkatan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faedah-faedah musyawarah di antaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah) dan menghilangkan keraguan & ketidakpuasan hati yang muncul kerana sesebuah peristiwa. Berbeza halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Ini menyebabkan orang tidak akan bersungguh-sungguh menghayati, mencintai dan sukar untuk menaatinya. Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran kerana menggunakan pada tempatnya.
4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, kerana hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Apa yang Perlu Dimusyawarahkan?

Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi SAW diperintahkan Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya sebagaimana tersebut dalam surat Ali Imran: 159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan, menghadapi musuh untuk melegakan para sahabatnya, dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini. Serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.
2. Justeru Nabi SAW diperintahkan untuk bermusyawarah dalam perkara itu meskipun beliau mempunyai pendapat yang paling benar karena adanya keutamaan/ fadhilah dalam musyawarah.
3. Allah SWT memerintahkan baginda untuk bermusyawarah padahal baginda sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka mengikuti baginda ketika dilanda sesuatu masalah, dan ketika mereka berada dalam sesuatu situasi, maka Allah SWT akan memberikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar dan tepat. (Tafsir Thabari, 4/152-153 dengan ringkasan)
4. Sebahagian ulamak berpendapat bahawa maksudnya adalah musyawarah pada hal-hal yang Nabi SAW belum diberi ketentuannya tentang perkara tersebut secara khusus.
5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.
6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah SWT yang harus diikuti. Juga pada urusan keduniaan yang dapat dicapai melalui idea dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)

Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau. Lalu beliau juga berkata: “Dan pasti musyawarah Nabi SAW pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah SWT. Di mana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah SWT. Jika Allah tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan. Dan nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan apatah lagi sesuatu yang telah ditentukan syariat .

Alasan yang menyokong hal ini adalah bacaannya Abdullah bin ‘Abbas:
وَشَاوِرْهُمْ فِيْ بَعْضِ اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Qurthubi, 4/250)

Semua hal di atas ada kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah ta’ala berfirman:

ياَ َأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُو اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Imam Bukhari mengatakan: “Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah SAW…” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]

Dan sebaliknya jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeza dengan ketentuan syariat. Imam Syafi’i mengatakan: “Seorang hakim/ pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah kerana seorang penasihat akan mengingatkannya tentang dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasihat tersebut pada apa yang dia katakan. Kerana sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi (Fathul Bari, 13/342). Imam Bukhari mengatakan: “Dan para imam setelah wafatnya Nabi SAW, bermusyawarah pada hal-hal yang mubah (harus) dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur’an maupun As Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan jika seseorang (pemimpin) bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebahagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang dipersilisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari tiap-tiap mereka beserta alasannya, lalu pendapat yang paling mirip dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah, hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah, hal. 58)

Al-Qurthubi mengatakan: “Syura terjadi kerana perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbezaan tersebut, kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur’an dan As sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah SWT membimbingnya kepada yang Allah SWT kehendaki, maka hendaklah dia berazam/ bertekad untuk melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah SWT. Di mana inilah kesudahan dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali ‘Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)

Siapakah Ahli Syura?

Ini merupakan pembahasan yang sangat penting kerana ahli syura sangat besar peranannya dalam menentukan sebuah keputusan, baik ataupun buruk. Sehingga jika tidak difahami secara benar, akan mengakibatkan kesan yang sangat buruk. Ketika seseorang salah dalam menentukan ahli syura yaitu dengan memilih orang yang tidak memiliki kriteria yang ditentukan syariat, maka ini akan menjadi alamat kehancuran. Oleh kerana pentingnya hal ini, Imam Bukhari telah menulis bab khusus dalam kitab Shahihnya yang berjudul: Orang Kepercayaan Pemimpin dan Ahli Syuranya.
Lalu beliau menyebutkan sebuah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطاَنَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطاَنَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ اللهُ تَعَالىَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidaklah menjadikan seorang khalifah kecuali dia akan mempunyai dua orang kepercayaan. Salah satunya memerintahkannya kepada yang baik dan menganjurkannya, dan yang lain memerintahkan kepada yang buruk dan menganjurkan kepadanya. Maka orang yang terlindungi adalah yang dilindungi oleh Allah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, kitab Al-Ahkam Bab Bithanatul Imam, no: 7198)

Dari hadis ini dapat difahami, ada tiga jenis pemimpin: ada yang cenderung kepada yang baik, ada yang cenderung kepada yang buruk, dan ada yang terkadang cenderung kepada yang baik dan terkadang kepada yang buruk. (Fathul Bari, 13/390-391)

Atas dasar ini, akan dinukilkan keterangan para ulama yang menjelaskan siapa sebenarnya yang berhak untuk duduk di majlis permusyawaratan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Seorang yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6700. Lihat pula Ash-Shahihah no. 1641)

Hadis ini mengisyaratkan bahawa ahli syura haruslah orang yang amanah kerana tidak mungkin seseorang yang tidak amanah akan dipercayai. Dalam firman Allah:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Maksudnya Abu Bakar dan ‘Umar ra.” (Sanadnya shahih diriwayatkan oleh An-Nahhas dalam An-Nasikh wal Mansukh, dan Al-Hakim dan disahihkan oleh beliau dan oleh Az-Zahabi. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 289)

Baginda SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar dalam masalah tawanan perang Badar dan dalam masalah lainnya. Juga dengan Ali bin Abu Thalib dalam masalah kejadian Ifk –yaitu tuduhan zina kepada ‘Aisyah- (Shahih Bukhari no. 7369) dan juga sahabat yang lain. Yang jelas, Nabi SAW tidak mengajak musyawarah kepada seluruh para shahabatnya dalam setiap hal. Akan tetapi memilih mereka yang layak dalam perkara tersebut.

Ahli syura Abu Bakar, Maimun bin Mihran mengatakan: “Bahawa Abu Bakar jika mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika beliau mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka beliau putuskan dengannya. Dan jika baginda mengetahuinya dari Sunnah Nabi, maka beliaupun memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui, baginda keluar kepada kaum muslimin dan bertanya kepada mereka tentang Sunnah Nabi (pada perkara tersebut). Dan bila hal itu tidak mampu (menyelesaikan), maka baginda memanggil tokoh-tokoh kaum muslimin dan para ulamak mereka lalu baginda bermusyawarah dengan mereka.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih.” Lihat Fathul Bari, 13/342)
Ahli syura ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Para qurra adalah antara orang yang menjadi ahli majlis mesyuaratnya, baik yang tua atau yang muda.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari, 13/250). Ibnu Hajar mengatakan: “Al-Qurra maksudnya para ulamak yang ahli ibadah.” (Fathul Bari, 13/258)
Di antara mereka adalah Abdullah bin ‘Abbas sendiri, sebagaimana beliau kisahkan: “Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut perang Badar, maka seolah-olah sebahagian mereka marah dan mengatakan: ‘Mengapa Umar memasukkan pemuda ini bersama kita padahal kita pun ada anak-anak seperti dia’. Maka Umar mengatakan: ‘Hal itu berdasarkan apa yang kalian semua ketahui (yakni bahawa dia dari keluarga Nabi dan dari sumber ilmu)’.” (HR. Al-Bukhari, 6/28, lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)
Riwayat ini menunjukkan bahwa majlis syuranya Umar adalah para sahabat ahli Badar kerana mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian Umar memasukkan Ibnu Abbas bersama mereka kerana ilmu yang dimilikinya, di mana ilmu beliau bahkan melebihi sebahagian sahabat ahli Badar kerana beliau didoakan oleh Nabi: “Ya Allah, fahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil.” (Madarikun Nazhar, hal. 162)
Dalam kejadian yang lain, Ibnu Abbas mengatakan: “Ketika itu, saya berada di tempat singgahnya Abdurrahman bin ‘Auf di Mina dan beliau di sisi Umar, dalam sebuah haji yang itu merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan pertanyaan kepada saya: ‘(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang datang kepada amirul mukminin (Umar bin Al-Khaththab) hari ini lalu ia mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, apakah anda dapat melakukan sesuatu pada fulan yang mengatakan: Seandainya ‘Umar telah meninggal maka aku telah membai’at fulan. Demi Allah, tidaklah bai’atnya Abu Bakr dahulu kecuali hanya sesaat lalu langsung sempurna.’ Maka (mendengar laporan itu) Umar marah lalu mengatakan: ‘Sungguh saya insyaallah akan berdiri pada petang ini di hadapan manusia dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu yang ingin merampas urusan mereka.’ Maka Abdurrahman mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, jangan kau lakukan! Kerana musim haji ini menampung orang-orang hina (juga), sesungguhnya merekalah yang akan lebih banyak dekat denganmu di saat kamu berdiri di hadapan mereka. Dan saya bimbang jika engkau bangkit dan mengucapkan sebuah ucapan lalu dibawa terbang oleh setiap yang terbang, mereka tidak memahaminya dan tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka tundalah hingga engkau pulang ke Madinah karena Madinah adalah rumah hijrah dan (rumah) As Sunnah sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqih dan tokoh-tokoh masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan sehingga ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada tempatnya’.” (Riwayat Al-Bukhari. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 163)
Setelah terjadinya usaha pembunuhan terhadap Umar dan Umar pun sudah merasa dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam orang sahabat. Dan dikatakan kepada beliau: “Berwasiatlah wahai amirul mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah.” Jawabnya: “Saya tidak mendapati orang yang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan) lebih dari orang-orang itu, yang Rasulullah SAW meninggal dalam keadaan redha terhadap mereka.” Lalu beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman (Shahih, riwayat Al-Bukhari no. 3700, dengan Fathul Bari, 7/59). Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada 6 orang shahabat yang memiliki sifat tersebut, padahal saat itu para shahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang. (Madarikun Nazhar, hal. 165)

Imam Al-Bukhari mengatakan: Dan para imam setelah wafatnya Nabi bermusywarah dengan para ulama yang amanah pada perkara yang mubah untuk mengambil yang paling mudah dan jika jelas bagi mereka al Qur’an maupun sunnah maka mereka tidak melampauinya untuk mengambil selainnya, hal itu dalam rangka meneladani Nabi SAW.Imam Syafi’i mengatakan: “Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi suatu masalah kecuali dengan seorang yang amanah, berilmu dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan riwayat-riwayat dari sahabat dan setelahnya, serta berilmu tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab.” (Mukhtashar Al-Muzani, dari Madarikun Nazhar, hal. 176)
Ibnu At-Tin menukilkan dari Asyhab, seorang murid Imam Malik, bahawa Imam Malik mengatakan: “Semestinya seorang pemimpin melantik orang lain yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya di saat dia sendirian. Dan hendaknya orang tersebut orang yang boleh dipercayai, amanah, cerdas dan bijaksana.” (Fathul Bari, 13/190)

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: “Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)
Syihristani mengatakan: “…Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada) seorang yang layak berijtihad sehingga dia (penguasa itu) dapat bertanya kepadanya dalam permasalahan hukum.” (Al-Milal, 1/160, lihat Madarikun Nazhar, hal. 177)

Ibnu Khuwairiz mengatakan: “Wajib bagi para pemimpin untuk bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah dengan para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh masyarakat pada urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan dengan para menteri dan wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri dan kemakmurannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)

Al-Qurthubi mengatakan: “Para ulamak berkata: ‘Kriteria orang yang diajak musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan orang agama. Dan jarang yang seperti itu kecuali orang yang berakal. Oleh karenanya Al-Hasan mengatakan: ‘Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah sempurna akalnya’. Dan sifat orang yang diajak musyawarah dalam hal urusan dunia hendaknya orang yang bijak, berpengalaman dan suka terhadap orang yang mengajaknya musyawarah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)

Al-Mawardi mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak bermusyawarah untuk memilih imam/ pemimpin: “…Syarat-syarat yang harus ada pada mereka ada tiga: pertama, keadilan (yakni keshalihan agamanya) dengan berbagai syaratnya. Kedua, ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan. Ketiga, idea yang bagus dan bijak yang dengan itu dia boleh memilih yang paling layak untuk menjadi pemimpin.” (Al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)
Dari penjelasan para ulama di atas, dipahami dengan jelas bahwa ahli syura adalah para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al Qur’an dan Sunnah Nabi serta pendapat-pendapat para ulama sebelumnya dalam berbagai masalah, bertakwa dan takut kepada Allah, juga memiliki sifat amanah, lagi bijaksana dalam memutuskan suatu urusan. Demikian pula memiliki keinginan baik untuk umat secara menyeluruh.
Jika diperlukan bermusyawarah pada urusan-urusan duniawi maka dia juga boleh melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu namun tentunya dengan tidak lari dari sifat-sifat dasar di atas. Demikian pula tidak boleh dilepaskan dari para ulamak kerana merekalah yang dapat mempertimbangkan sudut maslahat dan mafsadah yang hakiki dan secara syar’i, serta sudut halal dan haramnya.

Antara Syura dan Demokrasi

Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud secara praktikal dalam sistem syura Islam. Ini adalah anggapan yang salah, dan jauhnya perbezaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbezaannya adalah:

1. Aturan syura berasal dari Allah dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara majoriti walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
2. Syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara majoriti menghendakinya, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
3. Anggota majlis syura adalah para ulamak dan yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah dijelaskan. Sedang dalam sistem demokrasi anggotanya adalah siapa pemenang dalam pilihan raya samada yang berilmu agama, yang bodoh, yang bijak, yang tidak, yang menginginkan kebaikan rakyat, dan yang mementingkan diri sendiri, mereka semualah yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan majoriti tapi dengan kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara majoriti walaupun menentang syariat Allah SWT yang jelas.
5. Syura adalah salah cabang keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah ciri kekufuran kepada Allah SWT, kerana jika majoriti memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulamak, sedangkan demokrasi menyamakan semua orang.
7. Syura membedakan antara orang yang shalih dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya.
8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeza sesuai dengan perbezaan keadaan.

Kesimpulanya : Wajiblah kita menundukkan dan menggariskan demokrasi dan membuang kelemahannya dengan melaksanakan sistem islam yang syumul.

"Memurnikan Pemikiran Melestarikan Kesatuan"
“Ribat Ukhuwah Teguh Wehdah”
“Bersama Bersatu”

Disediakan oleh:
Unit Penerbitan & Penerangan BKPPPM sesi 2015/16

Comments

Popular posts from this blog

KEPENTINGAN MEMPELAJARI DAN MENGHAYATI SIRAH PERJUANGAN RASULILLAH SAW

Kebaikan Dan Keburukan Teknologi Moden

Minda Pimpinan | TAWAKAL VS TAWAKUL